Kopi TIMES

Guru, Bebaskan Pendidikan Kita

Senin, 25 November 2019 - 13:49
Guru, Bebaskan Pendidikan Kita Fahmi Aziz, mahasiswa Fakultas Ilmu keislaman Universitas Islam Raden Rahmat (Unira) Malang.

TIMES SITUBONDO, MALANG – Pendidikan merupakan tonggak kemajuan sebuah bangsa. Menjadi bangsa yang maju merupakan cita-cita yang ingin dicapai oleh setiap bangsa maupun negara didunia ini. Dan sudah menjadi rahasia umum bahwa maju tidaknya suatu negara dipengaruhi oleh pendidikannya.

Pendidikan merupakan proses mencetak generasi penerus bangsa yang berkualitas. Indonesia merupakan salaha satu negara berkembang didunia yang masih mempunyai masalah besar dalam dunia pendidikan.

Kita mempunyai tujuan bernegara yang sangat mulia yakni "Mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara" yang seharusnya menjadi sumbu perkembangan pembangunan kesejahteraan dan kebudayaan bangsa. Tetapi yang kita rasakan Sekarang adalah adanya ketertinggalan didalam mutu pendidikan.

Rendahnya mutu pendidikan ini menjadi salah satu penghambat penyediaan sumber daya manusia yang mempunyai keterampilan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan bangsa diberbagai bidang.

Banyak hal yang menjadi faktor atau masalah yang menyebabkan pendidikan kita tidak berkembang. Salah satunya adalah guru.

Dalam upaya mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara maupun Dalam proses belajar mengajar serta pengembangan kualitas pendidikan.  Guru memiliki peranan penting sebagai pendamping peserta didik dalam menumbuhkan potensi alamiahnya.

Sebagai mana yang ada pada UU nomor 14 tahun 2005 bahwa Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik.

Tetapi perlu kita sadari bahwa dewasa ini guru cenderung fokus pada pengajaran yang berbasis pada peningkatan kualitas intelektual atau pengetahuan semata. Dan cenderung mengabaikan aspek emosional, spiritual, maupun sosial.

Guru selalu Menuntut muridnya untuk menerima semua materi dari buku kedalam otaknya. Guru bukan lagi mendidik anak menjadi pelopor maupun inovator namun sebagai plagiator. Tujuannya terlalu sederhana yakni hanya untuk Mendapatkan nilai yang baik, lulus Ujian Nasional (UN), lulus Ujian Akhir sekolah (UAS), serta lulus 100 persen dan tepat waktu.

Maka produk dari sekolah tidak lain ialah Manusia - manusia yang hafal berbagai macam teori, namun tidak mampu mengimplementasikan teori tersebut dalam menghadapi realitas sosial yang dihadapi. Karena memang apa yang dipelajari tidak sesuai dengan apa yang akan dihadapi.

Siswa STM tidak bisa memperbaiki mesin motor. Siswa TKJ tidak bisa mengoperasikan komputer, mahasiswa sosiologi tidak bisa memberikan solusi atas masalah yang ada dimasyarakat. Dia Mahasiswa psikologi yang tidak selesai dengan dirinya sendiri. Dia Mahasiswa pendidikan Agama Islam yang belum bisa memberikan teladan, dia mahasiswa pertanian yang enggan kotor untuk bertemu dengan tanah, dan dia Mahasiswa ekonomi yang gagal untuk keluar dari himpitan ekonominya sendiri. 

Sekolah menjadi tempat untuk menyamaratakan kemampuan peserta didik. Semua siswa diperlakukan sama. Standartnya sama. Tidak berbasis pada spesialisasi minat atau bakat.

Maka bakat alamiah anak yang tidak masuk dalam kurikulum akan terpendam dan tidak berkembang. Akhirnya dia yang tidak berkembang akan dikucilkan dan dianggap bodoh karena rangkingnya rendah.

Di ruang kelas, peserta didik terjerembab ke dalam jurang “alienasi” dan ketidaksadaran sehingga merasa terasing dari persoalan dunia yang sejatinya. Singkatnya, konservatisme pendidikan membuat murid mengalami gagap sosial.

Realitas inilah yang pada akhirnya memecut Ivan Illich melahirkan konsep descholarize (pendidikan tanpa sekolah) sebagai alternatif untuk bisa maju menuju perubahan revolusioner dan mengeluarkan manusia dari nihilisme pendidikan.

Paulo Freire, pemikir Brazil, juga turut mengkritik pola tersebut dengan menggagas konsep pendidikan progresif. Menurutnya, guru harus secara konsisten menemukan dan terus mencari cara-cara yang memudahkan peserta didik melihat objek yang harus diketahui dan akhirnya dipelajari, sebagai sebuah masalah. Bukan guru yang mengungkung kreativitas peserta didik dengan mempraktikkan model pendidikan “gaya bank” yang membatasi tugas peserta didik sekadar menerima, mencatat, dan menyimpan.

Konsep pendidikan “gaya bank” menganggap peserta didik sebagai manusia bodoh yang tidak mengetahui apa-apa. Guru mengisi “tabungan” pengetahuan dan menuntut peserta didik untuk menerima begitu saja (taken for granted) tanpa celah sedikit pun memberikan ruang dialogis.

Guru dituntut menyalip pola yang membasis pada hubungan patron klien dan Hubungan patriarki yang memposisikan guru sebagai raja, guna menghapus jarak antara guru dan murid. Sehingga keduanya menjadi subjek dan bisa saling berbagi pengalaman, bisa saling interaksi, tidak dominatif dan saling menghormati.

Freire menekankan pada pendidikan berbasis pada dialog. Maksudnya  sebagai pendidik, guru dituntut untuk merangsang daya kritis peserta didik dengan memaparkan permasalahan tentang kondisi keterbaruan, kemudian memberikan kesempatan kepada mereka untuk memecahkannya melalui dialog multiarah (antar peserta didik dan dengan guru). Pendekatan yang digunakan oleh guru bukanlah memorization (sekadar mengingat-ingat apa yang dibacanya), tetapi pedagogy of knowing (pendidikan sebagai usaha mendapatkan pengetahuan).

Mengamini Freire, John Dewey menyatakan guru progresif, yaitu guru yang kritis dalam merespons situasi dan kondisi dunia pendidikan nasional dan lokal, seraya aktif dalam berbagai program pemberdayaan masyarakat. Dalam progresivisme, guru berjuang mendidik agar murid bisa menyelesaikan permasalahan yang selalu berkembang mengikuti zaman yang semakin dinamis, dan juga mengajarkan murid terhadap permasalahan nyata di sekitarnya, sehingga murid tidak terperangkap dalam pemikiran yang kolot.

Dalam progresivisme, guru harus mengajarkan bagaimana mengembangkan kreativitasnya untuk memecahkan suatu permasalahan, bukan hanya menjejali murid dengan hafalan-hafalan yang dapat mengekang murid, menghambat kreativitas, dan potensi yang ada dalam diri murid untuk berkembang. Di sini guru hanya sebagai tutor dan fasilitator dalam membimbing murid dalam pemecahan masalah mereka.

Misalnya, ceramah guru yang menyatakan bahwa keluarga adalah sebuah unit yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak kini sudah tidak relevan lagi. Karena, dalam perkembangannya, banyak anak yang yatim-piatu. Kalau materi tidak relevan dengan realitas, maka akan terjadi kesenjangan antara realitas hidup para murid dengan teori-teori yang mereka pelajari di sekolah.

Maka Menjadi penting untuk kemudian ada Perubahan paradigma pendidikan atau metode pembelajaran dari yang awalnya otoriter yang menganggap kebenaran hanya ada pada guru menjadi demokratis dan menganggap semua memiliki pontensi untuk salah maupun benar, Dari yang  tertutup menjadi terbuka, dari doktriner menjadi partisipatoris.

Perombakan paradigmatik ini tidak bisa ditawar lagi, mengingat kompleksitas problem pendidikan kita semakin meningkat. Guru perlu membudayakan tradisi kritis, dialog, keterbukaan, semangat pluralisme dan praktek-praktek yang menyentuh problem-problem realitas kehidupan. Tentu dengan pendekatan yang humanis akan sangat membantu dalam mencerahkan peserta didik dalam memberikan program penyadaran dan pemberdayaan, bukan pemaksaan.

Setidaknya kegelisahan akan model pendidikan dewasa ini yang hanya berorientasi knowledge ansich dan kurang memepertimbangkan pada nilai (value) dapat teratasi. Selamat hari guru!.(*)

*) Penulis, Fahmi Aziz, mahasiswa Fakultas Ilmu keislaman Universitas Islam Raden Rahmat (Unira) Malang

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

Pewarta :
Editor : Yatimul Ainun
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Situbondo just now

Welcome to TIMES Situbondo

TIMES Situbondo is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.