Kopi TIMES

Menunggu Standardisasi Materi Pendidikan Pancasila

Jumat, 28 Januari 2022 - 11:20
Menunggu Standardisasi Materi Pendidikan Pancasila Andang Subaharianto, Sekjen PERTINASIA (Perkumpulan Perguruan Tinggi Nasionalis Indonesia), Rektor Universitas 17 Agustus 1945 (UNTAG) Banyuwangi.

TIMES SITUBONDO, BANYUWANGI – Kabar gembira datang dari kementerian yang dipimpin Nadiem Makarim. Pemerintah bergerak cepat setelah menyadari “keteledoran” tidak memasukkan muatan pendidikan Pancasila dalam Standar Nasional Pendidikan (SNP). Peraturan Pemerintah (PP) nomor 57 tahun 2021 tentang SNP disempurnakan melalui PP nomor 4 tahun 2022 tentang Perubahan PP nomor 57 tahun 2021 tentang SNP. 

Dengan PP baru yang diundangkan pada 12 Januari 2022 tersebut Pancasila tidak hanya menjadi salah satu landasan dalam penyelenggaraan pendidikan. Pancasila wajib sebagai mata pelajaran di semua jenjang pendidikan. Tak ada lagi alasan lembaga pendidikan tak menyelenggarakan pendidikan Pancasila. 

Maka, lembaga pendidikan harus segera menyesuaikan kurikulum sesuai kewenangannya. Untuk pendidikan usia dini, dasar, dan menengah menjadi ranah Kementerian Pendidikan. Sedangkan pendidikan tinggi menjadi ranah perguruan tinggi. Bagi perguruan tinggi yang belum menyajikan mata kuliah Pancasila wajib menyajikan. 

Selesaikah urusannya? Tentu saja belum. Masih panjang. PP 4 tahun 2022 juga memerintahkan standardisasi muatan pembelajaran Pancasila di semua jenjang pendidikan. Standardisasi itu harus dikoordinasikan dengan badan yang menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang pembinaan ideologi Pancasila, yakni Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). 

Saya mencatat dua hal utama standardisasi pembelajaran Pancasila. Pertama, standar materi pembelajaran. Kedua, standar pengajar. Standar kedua bisa dipenuhi dengan pendidikan formal setingkat sarjana atau magister, atau pendidikan non-gelar bersertifikat. Bergantung untuk jenjang apa. Standar kedua ini penting, tapi setelah standar materi pembelajaran jelas.

Standardisasi materi pembelajaran merupakan urusan krusial. Sejauh ini tak ada rujukan baku. Pemahaman Pancasila pascareformasi seperti diserahkan “pasar” begitu saja. Terserah selera masing-masing. Tak ada “buku babon” yang bisa diacu, agar pembelajaran Pancasila punya arah yang sama. 

Barangkali kita berpikir, terutama di perguruan tinggi, ada mata kuliah Pancasila saja sudah bagus. Soal materinya seperti apa diserahkan saja kepada pengajarnya. Faktanya selama ini seperti itu. Antarpengajar di satu perguruan tinggi saja tak punya titik tumpu yang sama. Apalagi dengan perguruan tinggi yang berbeda.

Saya kira, urusan standar materi ini harus menjadi perhatian serius pemerintah. Tak bisa diserahkan kepada selera pengajar. Pemerintah, melalui lembaga yang diberi kewenangan yakni BPIP, harus segera menyusun semacam “buku babon”. 

Pendidikan Pancasila yang baik dan benar bukan hanya berkontribusi bagi etika pergaluan, melainkan juga pada tindakan bernegara. Sayangnya, pembelajaran Pancasila selama ini sebatas sebagai etika personal. Pancasila sebagai tindakan bernegara diabaikan. Atau, sengaja diabaikan karena motif tertentu. 

Model pendidikan Pancasila zaman Orde Baru, yang dikenal dengan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) dan di sekolah dikenal dengan pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila), saya kira, lebih berorientasi pada etika personal warga negara. Padahal, Pancasila ditawarkan oleh Soekarno dalam sidang BPUPK (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan) pada 1 Juni 1945 untuk menjawab pertanyaan mengenai dasar negara.    

Menempatkan Pancasila sebagai dasar negara berarti menggunakan Pancasila sebagai sistem nilai yang menuntun tindakan bernegara. Sebagai sistem nilai, Pancasila mengandung aspek kognitif, implementatif dan evaluatif.  

Dari aspek kognitif, Pancasila mestilah bisa ditransformasikan menjadi sistem pengetahuan yang menentukan pandangan dunia (world view) bangsa Indonesia. Dari sinilah kita melihat realitas kehidupan secara khas. 

Misalnya, dengan sistem pengetahuan itu kita melihat ada kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan rakyat Indonesia di tengah kapitalisme global dewasa ini. Dengan sistem pengetahuan itu lah kita melihat bahwa dinamika kapital akan melindas yang lemah bila tidak dikendalikan. Dengan sistem pengetahuan itu pula kita membaca keanekaragaman Indonesia sebagai keniscayaan, sehingga harus diterima dan dikelola untuk kepentingan bersama. 

Aspek kognitif Pancasila tersebut mestilah mewarnai dunia pendidikan, ranah akademik. Karena itu, Pancasila mesti juga memandu pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan mestilah mendekatkan realitas dengan nilai-nilai Pancasila. Bukan sebaliknya. Tak aneh bila BPIP bergandeng tangan dengan BRIN (Badan Riset Inovasi Nasional). 

Dari aspek implementatif, akan diperoleh sistem sosial. Pada aspek ini sistem pengetahuan tadi akan mengarahkan pembuatan kebijakan-kebijakan, peraturan perundang-undangan, perilaku negara, dan simbol-simbol lain. Jika sistem pengetahuan itu mengajarkan pengelolaan sumber daya alam untuk kemakmuran rakyat, mestilah diikuti kebijakan-kebijakan dan peraturan-peraturan pengelolaan sumber daya alam yang melindungi kepentingan rakyat. Jika sistem pengetahuan itu mengajarkan pelembagaan usaha kecil menengah untuk mendorong ekonomi rakyat, semestinya juga muncul regulasi yang menyelamatkan usaha kecil menengah dari ekspansi usaha besar. Aspek implementatif ini akan tampak dari tindakan-tindakan negara.  

Lalu, dari aspek evaluatif, Pancasila selalu ditampilkan sebagai kritik atas praktik bernegara. Tak bisa dipungkiri bahwa setiap konsep pembangunan tentu memuat asumsi ideologis. Di samping itu, praktik pembangunan sering pula mengalami “ideologisasi”, apabila pembangunan itu diperalat oleh kelompok tertentu untuk membenarkan kepentingannya. Dari aspek evaluatif, Pancasila dapat ditampilkan sebagai teropong apakah praktik bernegara itu mendekati atau menjauhi nilai-nilai Pancasila.    

Kita menunggu standardisasi materi pendidikan Pancasila. Apakah mengulang substansi pendidikan Pancasila yang pernah ada, yang hanya mengurus etika personal warga negara, ataukah memasuki fungsi Pancasila sebagai dasar negara? Khususnya di perguruan tinggi semestinya lebih berorientasi pada fungsi Pancasila sebagai dasar negara. 

***

*) Oleh: Andang Subaharianto, Sekjen PERTINASIA (Perkumpulan Perguruan Tinggi Nasionalis Indonesia), Rektor Universitas 17 Agustus 1945 (UNTAG) Banyuwangi.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta :
Editor : Wahyu Nurdiyanto
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Situbondo just now

Welcome to TIMES Situbondo

TIMES Situbondo is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.