TIMES SITUBONDO, NUSA TENGGARA BARAT – Sering sekali penulis melihat orang tua yang marah dengan anaknya perkara gadget. Hal ini berkenaan dengan penggunaan media sosial untuk mengisi masa Puber mereka yang notabene berstatus siswa.
Situasi ini tentu tidak luput dari berbagai model pembangkangan. Tapi di sisi yang berbeda, sebagian orang tua tampaknya memberikan kebebasan, bahkan bersifat tak terbatas.
Karena itu, tidak heran jika di status WhatsApp, Story Instagram, dan FYP Tiktok muda mudi ini berseliweran. Sesekali mereka berpuisi layaknya Qais Majnun, sesekali menjadi motivator, lalu kemudian tampil bak artis Korea hingga Hollywood. Dari yang penulis sebutkan ini, hampir tidak ada yang bernilai positif.
Tidak ada yang bisa dibenarkan dari menulis kata-kata berlagak menjadi suami istri di usia SMP. Tidak bisa dianggap sepele anak perempuan di usia SD sampai sekolah menengah membusungkan dada dengan rok terbelah di dunia maya. Sementara kita tahu, seksisme berkembang pesat di sosial media. Perilaku ini bahkan tidak mengenal usia.
Ini adalah akar persoalan lebih lanjut yang biasanya terjadi di masyarakat. Angka kehamilan usia dini meningkat, tingginya angka remaja putus sekolah, kemiskinan, kriminalitas, hingga prostitusi.
Terlebih pada usia sekolah dasar hingga menengah, situasi psikologis seseorang masih cenderung labil. Dengan demikian kemampuan untuk mengambil keputusan masih sangat memerlukan panduan.
Sementara itu, pembaca sekalian pasti menyadari permainan algoritma sosial media. Apa yang sedang kita bicarakan, pernah kita sukai, kita simpan, atau sekedar kita cari di laman pencarian sosial media akan muncul secara terus menerus.
Di samping itu, kemunculan konten juga tergantung pada jumlah ketertarikan mayoritas pengguna sosial media pada konten tersebut. Maka jadilah ini lingkaran setan yang sulit terhindarkan.
Kita semua pastinya pernah berada pada usia kanak-kanak dan remaja. Akan tetapi, pastinya disadari bahwa kultur pergaulan era ini jauh berbeda dari zaman dahulu. Sehingga, tingkat kepatuhan terhadap orang tua dan guru juga sangat berbeda.
Dahulu motivasi belajar relatif lebih besar dibandingkan saat ini. Semua itu tidak terlepas dari terbatasnya akses pada dunia bahkan termasuk pada lingkungan sekitar.
Sekarang, pemerintah sedang dalam upaya menciptakan regulasi pembatasan penggunaan sosial media bagi siswa. Tentu, perlu dibedakan dulu antara pembatasan dan pelarangan. Pembatasan artinya memberi ruang dengan batas waktu dan konteks yang jelas. Sementara pelarangan berarti menutup akses sama sekali.
Kementerian Kominfo melalui Peraturan Menkominfo No. 5 Tahun 2020 sebenarnya telah memberi kerangka. Isinya tentang tanggung jawab platform digital dalam menjaga keamanan konten. Tapi implementasi di kalangan pelajar masih sangat longgar. Karena itu, pembatasan yang lebih spesifik bagi siswa menjadi sangat penting.
Selaras dengan ini, kita memerlukan pendekatannya kolaboratif. Guru tidak bisa dan tidak boleh dibiarkan sendirian dalam memberi edukasi soal literasi digital. Perlu dukungan dari orang tua, komunitas, dan bahkan platform digital itu sendiri. Inilah esensi pendidikan partisipatif yang sering digaungkan.
Program pemerintah seperti Digitalisasi Pembelajaran penulis pikir perlu di apresiasi. Tentu saja rencana mengenai pembatasan penggunaan sosial media adalah pelengkapnya. Karena, pembelajaran harus menyentuh budaya digital siswa. Sebab, jika mengatur pikiran dan tindakan dalam konteks pendidikan dipandang secara parsial, hasilnya akan menjadi sia-sia.
Peringatan Hardiknas 2025 agaknya menjadi momentum refleksi bagi seluruh insan akademis Indonesia. Tema "Partisipasi Semesta Wujudkan Pendidikan Bermutu" sejalan dengan tantangan digital ini. Melibatkan lebih banyak pihak jadi syarat mutlak membangun sistem yang tahan banting. Media sosial siswa harus diarahkan, namun tidak juga dimatikan.
Mungkin dalam hal ini akan begitu banyak penolakan khususnya pada kalangan pelajar sendiri. Perlu waktu untuk bisa mengubah kebiasaan apalagi untuk membentuk sebuah kebudayaan.
Kita tahu intensitas manusia dengan gadget nya dewasa ini hampir tidak pernah lepas. Orang-orang lebih memilih ketinggalan dompet daripada ketinggalan hp.
Tapi setiap tindakan mesti punya alasan sebab kita akan menuai konsekuensi dari hal tersebut. Hari ini membatasi siswa berselancar di sosial media tanpa menghilangkan hak berekspresi manusia.
Ini cukup rasional karena kita menginginkan konsekuensi logis berupa kedisiplinan, ketertiban sosial, serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Inilah yang kemudian dinamai sebagai pendidikan karakter. (*)
***
*) Oleh : Galan Rezki Waskita, Alumni HMI Malang dan Pegiat Media NTB.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Fungsi Media Sosial di Tangan Siswa
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |