TIMES SITUBONDO, SITUBONDO – Peluncuran Program Digitalisasi Pembelajaran 2025 oleh pemerintah membawa harapan baru bagi pendidikan Indonesia. Distribusi smartboard dan perangkat teknologi ke 288.865 sekolah merupakan langkah konkrit yang patut diapresiasi.
Momentum ini juga mengundang refleksi penting: apakah kita siap untuk transformasi digital pendidikan yang sesungguhnya? Transformasi digital bukan sekadar tentang penyediaan perangkat canggih. Ini adalah tentang membangun ekosistem belajar baru yang kreatif, inklusif, dan berkeadilan.
Tanpa kesadaran ini, investasi besar dalam perangkat teknologi risiko menjadi dekorasi di dalam kelas, bukan katalis pembelajaran yang bermakna. Tantangan nyata di lapangan masih menjadi hambatan serius.
Kesenjangan infrastruktur, terutama di daerah terpencil, masih mencegah banyak siswa mengakses pembelajaran digital. Literasi digital pendidik yang belum merata juga menjadi bottleneck.
Banyak guru yang terbiasa dengan metode konvensional masih memerlukan waktu untuk mengintegrasikan teknologi ke dalam cara mengajar mereka secara efektif.
Tentu, kita tidak harus pesimis. Justru ini adalah kesempatan untuk belajar dari implementasi sebelumnya dan membangun strategi yang lebih matang. Beberapa solusi konkrit dapat dipertimbangkan.
Pertama, pastikan pelatihan guru berjalan paralel dengan distribusi perangkat. Perangkat teknologi terbaik pun tidak akan optimal jika dioperasikan oleh pendidik yang tidak memahami fungsinya. Program bimbingan teknis perlu diperkuat, berkelanjutan, dan disesuaikan dengan kebutuhan lokal.
Kedua, jangan abaikan daerah dengan akses internet terbatas. Pembelajaran hybrid harus fleksibel dapat disesuaikan antara pembelajaran daring penuh, kombinasi online dan offline, atau berbasis konten lokal yang dapat diakses offline. Teknologi harus melayani, bukan mendominasi.
Ketiga, ubah paradigma pembelajaran, bukan hanya metode mengajar. Digitalisasi membuka peluang untuk membuat siswa lebih mandiri dan kritis dalam mencari informasi, bukan sekadar menerima materi dari layar. Kurikulum dan penilaian perlu disesuaikan agar mendukung perubahan ini.
Keempat, libatkan pendidik sebagai agen perubahan, bukan objek implementasi. Guru dan dosen yang memahami tantangan lapangan harus menjadi bagian dari merancang strategi digitalisasi, bukan hanya penerima kebijakan dari atas.
Di era ini, pendidikan digital bukan pilihan tetapi kebutuhan. Namun kesuksesannya terukur bukan dari jumlah perangkat yang terdistribusi, melainkan dari seberapa banyak siswa yang benar-benar terinspirasi, termotivasi, dan tersukses dalam pembelajaran mereka.
Pemerintah telah membuka pintu, sekarang saatnya kita semua pendidik, siswa, orang tua, dan masyarakat bersama-sama mengubah niat baik menjadi praktik yang bermakna.
Transformasi pendidikan membutuhkan waktu, kesabaran, dan kerja sama lintas stakeholder. Dan tentunya dengan strategi yang tepat dan komitmen berkelanjutan, program digitalisasi pembelajaran dapat benar-benar menjadi jembatan menuju masa depan pendidikan Indonesia yang lebih cerah. (*)
***
*) Oleh : Agus Nu’man, Dosen STAI Nurul Huda Kapongan Situbondo.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |