https://situbondo.times.co.id/
Opini

Ketika IHSG Menjadi Cermin Kepercayaan Publik

Rabu, 15 Oktober 2025 - 14:54
Ketika IHSG Menjadi Cermin Kepercayaan Publik Nur Kamilia, Dosen Hukum STAI Nurul Huda Situbondo.

TIMES SITUBONDO, SITUBONDO – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali mencetak rekor pada 9 Oktober 2025, menembus level 8.250. Angka ini menjadi perbincangan besar, bukan hanya di kalangan analis dan pelaku pasar modal, tapi juga di ruang publik digital dari ruang komentar media sosial yang membahas “ekonomi makin cuan”.

Di balik euforia itu, ada pertanyaan yang lebih dalam: apakah kenaikan IHSG ini benar mencerminkan kekuatan ekonomi nasional, atau sekadar letupan kepercayaan terhadap arah baru kebijakan pemerintah?

Pergantian Menteri Keuangan dari Sri Mulyani Indrawati ke Purbaya Yudhi Sadewa membawa dinamika baru yang langsung dirasakan pasar. Purbaya dikenal lugas, dengan ambisi mempercepat pertumbuhan melalui kebijakan yang lebih ekspansif. Salah satu langkah awalnya, memindahkan Rp 200 triliun dana pemerintah dari Bank Indonesia ke bank komersial untuk mendorong likuiditas dan penyaluran kredit.

Pasar membaca langkah ini bukan sekadar kebijakan teknis, melainkan gestur politik ekonomi. IHSG melonjak seolah menyambut optimisme baru sebuah sinyal bahwa pelaku pasar masih menaruh kepercayaan terhadap mesin fiskal Indonesia, meski dengan wajah yang berbeda.

Tapi pasar modal punya logika sendiri. Dalam lonjakan IHSG, data menunjukkan investor asing melakukan net buy besar-besaran, sekitar Rp 1 triliun. Namun di pasar reguler, justru terjadi net sell senilai Rp 1,48 triliun. Artinya, ada dua arus yang berjalan bersamaan: optimisme publik dan perhitungan dingin pelaku besar.

Bagi investor institusi, momen euforia seperti ini justru sering dimanfaatkan untuk melakukan rotasi portofolio: keluar dari saham berkapitalisasi besar yang sudah relatif mahal, dan mengalihkan dana ke sektor-sektor menengah yang dinilai masih memiliki valuasi menarik. 

Karena itu, reli IHSG tidak selalu mencerminkan kondisi pasar secara menyeluruh di balik grafik hijau yang tampak optimistis, bisa jadi sedang berlangsung penyesuaian strategi investasi yang tidak kasat mata.

Fenomena ini menunjukkan bahwa IHSG kini tidak lagi sekadar mencerminkan kinerja ekonomi riil. Ia juga menjadi laboratorium kepercayaan publik, ekspektasi, dan narasi kebijakan diuji dalam waktu nyata.

Contoh paling nyata terlihat ketika sebuah video viral di media sosial sempat mengklaim bahwa pemerintah menghapus pajak untuk gaji di bawah Rp10 juta. Informasi itu kemudian diklarifikasi sebagai hoaks oleh pihak berwenang. 

Meski demikian, kabar tersebut sempat memicu optimisme sesaat di ruang publik menunjukkan betapa kuatnya pengaruh narasi viral terhadap persepsi ekonomi masyarakat.

IHSG kini sedang berada di zona jenuh kepercayaan di mana rasa optimis yang berlebihan bisa menjadi beban psikologis baru. Setelah reli panjang, ekspektasi terhadap stabilitas fiskal dan keberlanjutan kebijakan meningkat tajam. Kenaikan tajam IHSG bukan lagi pesta kemenangan, tapi juga awal dari tekanan: pemerintah harus terus memberi alasan agar pasar percaya.

Yang menarik, volatilitas IHSG beberapa waktu terakhir lebih banyak dipicu faktor internal, bukan eksternal. Kalau dulu pasar gemetar karena isu suku bunga The Fed atau geopolitik global, kini gejolaknya lebih sering datang dari dalam negeri: tidak jelasan arah fiskal, isu transparansi kebijakan, dan komunikasi publik yang kadang tidak selaras antara Kemenkeu dan Bank Indonesia.

Kondisi ini menandakan bahwa risiko terbesar bagi pasar bukan lagi krisis global, melainkan inkonsistensi domestik. Kepercayaan publik dan pelaku pasar kini menjadi mata uang paling berharga dalam menjaga kestabilan indeks.

Namun, di tengah turbulensi itu, ada arah baru yang jarang dibahas media arus utama: transformasi kapital menuju sektor hijau dan digital. Perusahaan energi terbarukan, pusat data, fintech, hingga manufaktur berorientasi ekspor mulai menarik perhatian investor besar. Sementara publik masih terpaku pada saham tambang dan perbankan, “uang cerdas” sudah mulai mengalir ke sektor yang menjadi mesin ekonomi masa depan.

Jika tren ini terus berlanjut, IHSG 2025 bisa menjadi fondasi dari “pasar modal generasi kedua” pasar yang tidak lagi bergantung pada komoditas lama, tapi pada teknologi, keberlanjutan, dan efisiensi energi. 

Di situlah letak harapan sebenarnya: bukan pada angka indeks semata, melainkan pada pergeseran arah investasi menuju sektor yang lebih tahan masa depan.

Untuk sampai ke sana, pemerintah dan otoritas pasar harus menjaga satu hal yang paling rapuh: kepercayaan. Karena di era di mana rumor bisa memicu aksi jual, dan unggahan media sosial bisa memengaruhi persepsi ekonomi nasional, menjaga kredibilitas jauh lebih penting daripada sekadar menjaga angka.

IHSG hari ini bukan lagi sekadar angka yang naik dan turun. Ia adalah cermin psikologis bangsa, yang memantulkan seberapa besar kita percaya pada narasi pertumbuhan yang sedang dibangun. Dan seperti semua cermin, ia tak pernah berbohong ia hanya menunjukkan apa yang sedang kita yakini.

***

*) Oleh : Nur Kamilia, Dosen Hukum STAI Nurul Huda Situbondo.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Situbondo just now

Welcome to TIMES Situbondo

TIMES Situbondo is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.