TIMES SITUBONDO, SITUBONDO – Beragam bencana alam akhir-akhir kembali menjadi berita utama di berbagai media. Banjir bandang, longsor serta cuaca ekstrem tak kunjung bosan datang silih berganti, menyebabkan kerusakan parah, kehancuran lingkungan, korban jiwa dan penderitaan sosial yang memilukan.
Namun di balik semua itu, bencana sebetulnya telah memberikan satu pertanyaan mendasar: apakah cara manusia memahami alam dan ilmu pengetahuan selama ini sudah benar?
Selama ini, bencana dipahami sebagai persoalan teknis. Ia dijelaskan melalui peta geologi, data curah hujan, perubahan iklim, sampai statistik kebencanaan. Tentunya pendekatan ilmiah semacam ini tidak bisa diabaikan bahkan amat penting. Namun, pengalaman berulang menjelaskan satu fakta bahwa pengetahuan teknis saja tidak cukup.
Kita tahu di mana saja daerah rawan banjir dan longsor, tetapi eksploitasi lingkungan, alih fungsi hutan dan pembangunan tanpa perhitungan ekologis tetap marak. Maka jelas yang menjadi persoalan bukanlah kurangnya ilmu, melainkan pada cara ilmu digunakan dan diarahkan untuk kemaslahat manusia dan alam semesta juga.
Dalam tradisi pemikiran modern Barat, ilmu pengetahuan dan sains acap dipahami sebagai alat untuk menguasai alam. Francis Bacon bahkan tidak ragu mendeklerasikan bahwa knowledge is power.
Ilmu dijadikan sebagai sarana kontrol dan efisiensi. Tap justru masalah muncul saat ilmu hanya dipandang sebagai alat, sementara dimensi etika, akhlak dan tanggung jawab diacuhkan. Akibatnya, kemajuan ilmu pengetahuan malah berjalan seiring dengan kerusakan lingkungan.
Epistemologi Islam menyajikan cara pandang yang berbeda. Islam tidak menolak ilmu pengetahuan atau sains, tetapi menempatkannya dalam kerangka nilai dan orientasi yang jelas. Alam tidak pernah dipandang sebagai objek eksploitasi tanpa batas, melainkan sebagai Amanah dari Sang Pencipta manusia dan alam semesta.
Manusia diletakkan sebagai khalifah, yakni pihak yang bertanggung jawab menjaga kelestarian, keseimbangan dan kebaikan bumi, bukan penguasa mutlak atasnya.
Rasulullah SAW menegaskan keterkaitan iman dengan tanggung jawab sosial dan ekologis melalui hadis: Iman memiliki lebih dari tujuh puluh cabang; yang tertinggi adalah mengucapkan la ilaha illallah, dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Malu Adalah salah satu cabang iman.
Hadis ini menunjukkan bahwa iman tidak hanya tentang akidah dan keyakinan yang mengakar di dalam hati, tetapi harus juga terwujud dalam tindakan nyata dalam bentuk ibadah dan etika yang menjaga keselamatan dan kenyamanan interaksi dengan sesama manusia maupun ruang hidup bersama. Eksploitasi lingkungan, polusi, membiarkan sampah menumpuk, atau mengabaikan dampak ekologis pembangunan, jelas bertentangan dengan spirit iman itu sendiri.
Pandangan ini diperkuat oleh Syekh Ali Jum‘ah, mantan Mufti Besar Mesir. Ia menyatakan bahwa tujuan utama manusia diciptakan ada tiga: beribadah kepada Allah, menyucikan jiwa, dan memakmurkan bumi.
Memakmurkan bumi (‘imarat al-ardh) meniscayakan relasi yang etis antara manusia, ilmu, dan alam. Tidak mungkin bumi dimakmurkan jika ilmu hanya dipakai untuk mengejar keuntungan jangka pendek.
Ulama klasik seperti Al-Ghazali sejak lama mengingatkan bahaya ilmu yang kehilangan arah moral. Dalam Ihya’ Ulum al-Din, ia menegaskan bahwa ilmu bukan tujuan akhir, melainkan sarana untuk menghadirkan kemaslahatan.
Ilmu yang tidak melahirkan kebaikan justru berpotensi menjadi sumber kerusakan. Pemikir Muslim kontemporer Syed Muhammad Naquib al-Attas menyebut kondisi ini sebagai the loss of adab, hilangnya tata nilai dalam memahami dan memanfaatkan ilmu.
Menariknya, kritik serupa juga muncul dari pemikir Barat seperti Jürgen Habermas yang mengingatkan bahwa rasionalitas modern sering terkekang pada rasionalitas instrumental, yaitu cara berpikir yang hanya berfokus pada apa yang bisa dilakukan, bukan pada apa yang seharusnya dilakukan. Dalam konteks kebencanaan, pola pikir ini membuat manusia sibuk menangani dampak, tetapi mengabaaikan pencegahan dan keadilan ekologis.
Bencana alam pada akhirnya adalah cermin bagi cara manusia mengetahui dan bertindak. Ia menjadi bukti nyata bahwa kemajuan sains dan teknologi tidak otomatis melahirkan kebijaksanaan.
Epistemologi Islam, ketika dipertemukan dalam diolog kritis dengan filsafat modern, mengajak kita menata ulang orientasi ilmu: dari sekadar alat penguasaan menjadi sarana etika, tanggung jawab dan kemaslahatan.
Barangkali, yang sangat dibutuhkan saat ini bukan hanya teknologi yang semakin canggih, tetapi cara memahami ilmu yang lebih berakhlak ilmu yang menjaga kehidupan, memuliakan alam, dan mengingatkan manusia pada tujuan penciptaannya.
***
*) Oleh : Zaimuddin, Mahasiswa S3 Prodi Studi Islam UNUJA Paiton dan Ketua Prodi Ilmu Hadis STIQ Walisongo Situbondo.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |