TIMES SITUBONDO, SITUBONDO – Kebijakan pemerintah untuk menaikkan gaji dan tunjangan hakim, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2024, telah menarik perhatian publik dari berbagai kalangan.
Langkah tersebut tidak hanya merepresentasikan bentuk perhatian negara terhadap kesejahteraan aparat peradilan, namun juga menandai suatu momen penting dalam dinamika hukum dan politik nasional.
Peningkatan gaji pokok dan tunjangan jabatan bagi para hakim terutama yang berada di lingkungan Mahkamah Agung mengandung makna yang jauh lebih luas dibandingkan sekadar kenaikan pendapatan.
Ia berbicara tentang bagaimana negara menempatkan peran hakim dalam kerangka demokrasi, keadilan, dan integritas sistem hukum. Dalam konteks ini, kebijakan tersebut patut dikaji tidak hanya dari sudut fiskal, tetapi juga dalam perspektif sosial dan politik.
Hakim sebagai Pilar Keadilan
Sebagai aktor sentral dalam proses peradilan, hakim memegang peranan krusial dalam memastikan tegaknya hukum yang adil dan tidak memihak. Oleh karena itu, kesejahteraan mereka seyogianya menjadi prioritas negara, bukan hanya sebagai bentuk penghargaan terhadap beban kerja dan tanggung jawab moral yang mereka emban, melainkan juga sebagai strategi untuk memperkuat integritas dan independensi peradilan.
Sayangnya, dalam lebih dari satu dekade terakhir, tidak terdapat penyesuaian signifikan terhadap hak keuangan hakim. Padahal, dalam kurun waktu yang sama, beban perkara meningkat secara drastis, terutama di pengadilan tingkat pertama. Banyak hakim harus bekerja hingga larut malam dengan jumlah perkara yang tidak sebanding dengan tenaga dan waktu yang tersedia.
Maka, ketika akhirnya pemerintah menyetujui peningkatan gaji hakim, hal tersebut tidak dapat dilihat sebagai pemberian semata, melainkan koreksi terhadap ketimpangan yang telah berlangsung terlalu lama.
Ekspektasi dan Kebutuhan Transparansi
Dari sisi sosial, kebijakan ini disambut dengan harapan besar. Publik menaruh ekspektasi bahwa kesejahteraan yang membaik akan berdampak positif pada kinerja dan integritas hakim. Hakim yang hidup layak diyakini lebih memiliki daya tahan terhadap tekanan eksternal, baik yang bersifat politis maupun ekonomis.
Namun, seiring dengan harapan itu, muncul pula kebutuhan untuk memperkuat transparansi dalam sistem peradilan. Peningkatan kesejahteraan seyogianya diikuti oleh penguatan mekanisme akuntabilitas.
Masyarakat perlu diyakinkan bahwa setiap putusan yang diambil benar-benar mencerminkan keadilan substantif, bukan semata interpretasi normatif yang kering dari nilai-nilai kemanusiaan.
Dengan kata lain, gaji hakim yang lebih tinggi perlu dikawal oleh standar etik yang lebih tinggi pula. Penilaian kinerja, pelaporan harta kekayaan, dan publikasi putusan secara terbuka harus menjadi bagian dari upaya kolektif dalam membangun kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan.
Menakar Independensi dan Persepsi Publik
Kenaikan gaji hakim juga tak luput dari pembacaan politik. Fakta bahwa kebijakan ini keluar menjelang pergantian pemerintahan menimbulkan berbagai spekulasi mengenai motif dan kalkulasi politik yang menyertainya. Namun, yang lebih penting dari soal waktu adalah arah dan dampaknya terhadap relasi kekuasaan di dalam sistem hukum.
Dengan penghasilan yang lebih baik, para hakim diharapkan mampu menjaga jarak dari kepentingan politis dan ekonomi yang kerap kali menyusup dalam proses peradilan.
Ini menjadi penting terutama pada masa-masa krusial, seperti sengketa pemilu, perkara korupsi yang melibatkan tokoh publik, atau perkara konstitusional yang berdampak luas.
Namun demikian, independensi hakim tidak akan terwujud hanya melalui kebijakan remunerasi. Ia juga memerlukan komitmen moral, pembinaan etik yang berkelanjutan, serta perlindungan dari intervensi institusional.
Dalam hal ini, penguatan Komisi Yudisial sebagai pengawas eksternal terhadap perilaku hakim menjadi sangat relevan untuk didorong.
Keadilan dalam Tubuh Lembaga Peradilan
Peningkatan gaji hakim juga mengangkat diskusi tentang kesenjangan internal di dalam lembaga peradilan itu sendiri. Pegawai pengadilan non-hakim seperti panitera, staf administrasi, dan tenaga teknis merupakan bagian integral dari proses penegakan hukum.
Bila kesejahteraan mereka tertinggal jauh, hal ini dapat menimbulkan ketimpangan struktural dan mengganggu semangat kerja kolektif di pengadilan.
Keadilan tidak hanya mesti ditegakkan bagi masyarakat umum, tetapi juga dalam tatanan internal lembaga itu sendiri. Maka, perbaikan kesejahteraan aparat peradilan seharusnya dirancang secara menyeluruh dan inklusif.
Harapan dan Jalan Kedepan
Kebijakan peningkatan gaji hakim sesungguhnya adalah awal dari sebuah komitmen jangka panjang. Komitmen bahwa negara tidak hanya membangun keadilan sebagai slogan, tetapi menjadikannya sebagai sistem hidup yang dijaga dengan kesejahteraan, integritas, dan keterbukaan.
Namun, gaji yang tinggi tanpa akuntabilitas akan menimbulkan kekecewaan baru. Sebaliknya, kesejahteraan yang dibarengi oleh dedikasi dan keteladanan akan menjadikan profesi hakim sebagai teladan luhur dalam kehidupan bernegara.
Oleh karena itu, reformasi peradilan perlu dilanjutkan dengan langkah-langkah strategis lainnya: penguatan kapasitas hakim, perluasan akses masyarakat terhadap bantuan hukum, serta perlindungan terhadap hakim yang berani menegakkan keadilan dalam kasus-kasus yang sensitif.
Negara telah mengambil langkah penting dengan meningkatkan kesejahteraan para penegak hukum di lini peradilan. Kini giliran para hakim membalas kepercayaan tersebut dengan menjaga marwah profesi dan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, integritas, dan kemanusiaan.
Karena pada akhirnya, bukan hanya putusan yang dinilai masyarakat, melainkan pula cara dan niat ketika keadilan ditegakkan. (*)
***
*) Oleh : Nur Kamilia, Dosen Hukum STAI Nurul Huda Situbondo.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Menakar Keadilan Hakim dalam Neraca Politik dan Moral Publik
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |