TIMES SITUBONDO, SITUBONDO – Rencana pemerintah untuk melakukan redenominasi rupiah kembali menjadi topik yang menarik perhatian publik. Ide ini sebenarnya bukan hal baru. Sudah sejak lebih dari satu dekade lalu wacana ini muncul, namun selalu tertunda karena berbagai pertimbangan, baik ekonomi, teknis, maupun sosial.
Kini, dengan semakin majunya sistem keuangan digital dan meningkatnya kebutuhan efisiensi dalam pengelolaan data serta transaksi, redenominasi kembali relevan untuk dibicarakan secara serius.
Secara sederhana, redenominasi adalah penyederhanaan nilai mata uang tanpa mengubah daya belinya. Misalnya, jika sekarang harga secangkir kopi Rp10.000, setelah redenominasi bisa menjadi Rp10, dengan penghapusan tiga angka nol di belakangnya.
Artinya, 1.000 rupiah “baru” = 1.000.000 rupiah “lama”. Namun penting untuk dipahami bahwa langkah ini bukan pemotongan nilai uang (sanering), melainkan hanya penyederhanaan nominal untuk meningkatkan efisiensi dan memudahkan transaksi.
Salah satu alasan utama di balik rencana redenominasi adalah efisiensi dalam sistem informasi dan teknologi (IT). Di era digital saat ini, hampir semua transaksi dan pencatatan keuangan bergantung pada sistem elektronik mulai dari perbankan, akuntansi, hingga transaksi daring.
Jumlah digit yang panjang dalam rupiah sering kali menjadi kendala teknis, terutama dalam pemrograman, sistem pembayaran otomatis, hingga laporan keuangan perusahaan multinasional.
Sebagai contoh, dalam sistem database, angka nominal rupiah yang memiliki banyak digit membutuhkan ruang penyimpanan lebih besar dan memperlambat proses perhitungan otomatis.
Dalam skala besar, hal ini berarti biaya operasional IT yang lebih tinggi dan risiko kesalahan input data yang lebih besar. Dengan redenominasi, semua proses ini bisa lebih sederhana, cepat, dan efisien.
Selain itu, penyederhanaan angka akan mempermudah integrasi sistem keuangan Indonesia dengan sistem internasional. Saat ini, banyak sistem keuangan global yang tidak dirancang untuk menghadapi nilai nominal setinggi rupiah.
Dengan demikian, redenominasi dapat memperkuat posisi rupiah sebagai mata uang yang lebih “bersahabat” dalam transaksi lintas negara.
Namun, redenominasi bukan hanya persoalan teknis atau angka di layar komputer. Inti persoalannya justru ada pada persepsi masyarakat. Dalam dunia ekonomi, persepsi sering kali lebih kuat daripada realitas.
Jika masyarakat tidak memahami bahwa redenominasi tidak mengurangi nilai uang mereka, maka kekhawatiran atau kepanikan bisa muncul, dan justru menimbulkan gejolak ekonomi baru.
Kunci dari keberhasilan redenominasi adalah kepercayaan publik terhadap stabilitas ekonomi dan kredibilitas pemerintah. Negara-negara yang berhasil melakukan redenominasi, seperti Turki pada tahun 2005 dan Rusia pada 1998, melakukannya ketika inflasi sudah terkendali dan pertumbuhan ekonomi relatif stabil.
Sebaliknya, jika redenominasi dilakukan di tengah situasi ekonomi yang tidak menentu, masyarakat bisa salah mengartikan kebijakan ini sebagai tanda bahwa pemerintah sedang “memotong nilai uang”, seperti yang pernah terjadi di masa lalu.
Oleh karena itu, sebelum redenominasi dilakukan, komunikasi publik harus sangat matang dan konsisten. Pemerintah perlu melakukan sosialisasi luas, baik melalui media, lembaga pendidikan, hingga sektor bisnis, agar seluruh lapisan masyarakat memahami bahwa redenominasi tidak akan mengubah daya beli, harga, atau nilai tabungan. Hanya cara penulisannya saja yang berbeda.
Meskipun terlihat mudah di atas kertas, pelaksanaan redenominasi bukan perkara ringan. Perubahan ini akan berdampak pada hampir seluruh aspek kehidupan ekonomi.
Sistem perbankan, akuntansi, administrasi pemerintahan, hingga sektor swasta harus menyesuaikan diri. Semua harga barang, sistem pembayaran, laporan keuangan, kontrak bisnis, hingga perangkat lunak keuangan harus diperbarui.
Bayangkan, setiap mesin kasir, aplikasi dompet digital, hingga sistem ERP (Enterprise Resource Planning) perusahaan harus disesuaikan. Butuh waktu, biaya, dan koordinasi yang besar agar proses transisi berjalan mulus.
Selain itu, masa transisi juga perlu dirancang dengan cermat misalnya, selama beberapa tahun kedua nominal (lama dan baru) beredar bersamaan untuk memberi waktu adaptasi bagi masyarakat.
Tidak kalah penting, pengawasan harga harus diperketat agar tidak ada pihak yang memanfaatkan kebingungan masyarakat untuk menaikkan harga secara diam-diam. Pemerintah harus memastikan bahwa proses redenominasi benar-benar netral terhadap inflasi.
Pertanyaannya sekarang: apakah Indonesia sudah siap? Dari sisi makroekonomi, stabilitas rupiah relatif terjaga, inflasi terkendali, dan sistem keuangan semakin digital serta transparan. Ini memberikan sinyal positif bahwa momentum untuk redenominasi mulai mendekati waktu yang tepat.
Namun, kesiapan sosial dan kelembagaan tidak boleh diabaikan. Pemerintah, Bank Indonesia, dan seluruh lembaga keuangan harus bergerak serempak dengan rencana komunikasi publik yang kuat dan terarah. Dunia usaha pun perlu dilibatkan sejak awal agar proses penyesuaian tidak menimbulkan gangguan dalam operasional bisnis.
Jika dilakukan dengan hati-hati, redenominasi bisa menjadi simbol modernisasi ekonomi nasional. Ia akan menunjukkan bahwa Indonesia siap melangkah menuju sistem keuangan yang lebih efisien, terintegrasi, dan berdaya saing global.
Tapi sebaliknya, jika terburu-buru tanpa kesiapan, kebijakan ini bisa menimbulkan kebingungan dan ketidakpercayaan publik yang justru kontraproduktif.
Redenominasi bukan sekadar memotong angka nol di uang kertas. Ia adalah upaya memperkuat efisiensi, transparansi, dan citra rupiah di mata dunia. Namun keberhasilan kebijakan ini tidak hanya diukur dari kemampuan teknis pemerintah, melainkan dari bagaimana masyarakat memahami dan menerima perubahan tersebut.
Dalam ekonomi, angka memang penting, tetapi persepsi jauh lebih menentukan. Jika masyarakat percaya bahwa redenominasi adalah langkah maju menuju ekonomi yang lebih efisien dan kuat, maka kebijakan ini akan berjalan mulus.
Jika kepercayaan itu goyah, angka sekecil apa pun bisa menjadi besar masalahnya. Karena itu, sebelum menulis ulang nol di uang kita, mari bersama membangun pemahaman dan keyakinan bahwa redenominasi bukan ancaman, melainkan simbol kematangan ekonomi Indonesia. (*)
***
*) Oleh : Nur Kamilia, Santri Asal Situbondo Jawa Timur.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |