TIMES SITUBONDO, SITUBONDO – Ancaman penutupan Selat Hormuz kembali mencuat ke permukaan menyusul meningkatnya ketegangan geopolitik di Timur Tengah. Jalur laut yang hanya selebar 33 kilometer ini mungkin tampak sempit di peta dunia, tetapi fungsinya sangat besar: sekitar 20 persen dari minyak mentah dunia setara dengan puluhan juta barel per hari mengalir melalui selat ini. Tak berlebihan jika para analis menjulukinya sebagai “jantung energi dunia”.
Setiap kali terjadi gesekan di kawasan itu, pasar energi global langsung bereaksi. Harga minyak melonjak, kekhawatiran suplai muncul, dan efeknya merembet ke berbagai lini kehidupan masyarakat dunia, termasuk Indonesia.
Walau jauh dari pusat ketegangan, Indonesia tetap sangat bergantung pada stabilitas pasokan dan harga minyak global. Maka dari itu, ancaman penutupan Selat Hormuz adalah sinyal bahaya yang tidak bisa diabaikan.
Mengapa Selat Hormuz Begitu Penting?
Letaknya yang strategis membuat Selat Hormuz menjadi jalur vital ekspor minyak dari negara-negara Teluk seperti Arab Saudi, Iran, Irak, Uni Emirat Arab, dan Kuwait menuju pasar Asia, Eropa, dan Amerika.
Tidak ada jalur alternatif laut yang bisa menggantikan peran selat ini dalam waktu singkat. Gangguan sekecil apapun baik berupa aksi militer, sabotase, maupun larangan ekspor dapat mengacaukan distribusi energi global.
Iran, yang memiliki kekuasaan atas sebagian besar wilayah Selat Hormuz, beberapa kali menyampaikan ancaman eksplisit untuk menutup selat tersebut sebagai bentuk tekanan terhadap sanksi internasional.
Meskipun sebagian besar ahli menilai bahwa penutupan total kemungkinan besar tidak akan dilakukan, retorika semacam ini tetap cukup untuk mengguncang pasar dan memicu ketidakstabilan.
Indonesia, sebagai negara yang masih mengimpor sebagian besar kebutuhan minyak mentahnya, termasuk dari kawasan Timur Tengah, tentu sangat terdampak. Ketika harga minyak naik karena ketidakpastian di Hormuz, efeknya langsung terasa pada harga BBM, ongkos logistik, hingga daya beli masyarakat.
Dampaknya Bukan Sekadar Ekonomi
Ketergantungan Indonesia pada energi fosil membuat negara ini sangat rentan terhadap fluktuasi global. Lonjakan harga minyak mentah akan memperberat beban subsidi energi dan mengganggu keseimbangan fiskal negara.
Ketika pemerintah harus mengalokasikan anggaran lebih besar untuk subsidi, ruang fiskal untuk sektor lain seperti pendidikan, kesehatan, atau infrastruktur otomatis menyempit.
Di sisi lain, dampak sosialnya juga tak kalah nyata. Naiknya harga BBM biasanya akan diikuti oleh peningkatan harga kebutuhan pokok, biaya transportasi, dan inflasi. Dalam kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih pasca-pandemi, gejolak harga semacam ini berpotensi memperbesar ketimpangan dan keresahan sosial.
Kita juga tidak bisa menutup mata pada risiko keamanan nasional. Ketika pasokan energi terganggu dan harga melonjak, stabilitas dalam negeri bisa terancam. Sejarah mencatat, kelangkaan energi pernah memicu demonstrasi dan keresahan publik di berbagai belahan dunia. Ini adalah risiko nyata yang harus diantisipasi sejak dini.
Saatnya Menata Ulang Ketahanan Energi Nasional
Mengandalkan kawasan yang rawan konflik sebagai sumber utama pasokan energi jelas bukan pilihan bijak untuk jangka panjang. Maka, momentum ketegangan di Selat Hormuz ini seharusnya dijadikan pengingat bahwa Indonesia perlu menata ulang strategi ketahanan energi nasionalnya.
Langkah pertama tentu saja mempercepat transisi energi. Pemerintah sudah mencanangkan target bauran energi terbarukan 23 persen pada 2025, namun realisasinya masih jauh dari harapan.
Percepatan investasi di bidang energi surya, angin, air, dan panas bumi harus dilakukan dengan serius, disertai regulasi yang mendukung dan insentif yang menarik bagi swasta.
Langkah kedua adalah diversifikasi sumber pasokan impor energi. Ketergantungan yang terlalu besar pada satu kawasan membuat kita rentan. Indonesia bisa menjajaki kerja sama jangka panjang dengan negara produsen lain seperti Nigeria, Angola, Brasil, atau bahkan meningkatkan kapasitas kilang dalam negeri agar bisa mengolah lebih banyak minyak mentah lokal.
Langkah ketiga yang tak kalah penting adalah memperkuat diplomasi energi. Indonesia memiliki posisi strategis di ASEAN dan dunia internasional, yang bisa dimanfaatkan untuk mendorong stabilitas kawasan, termasuk lewat jalur dialog multilateral yang melibatkan negara-negara Teluk.
Diplomasi yang aktif dan konstruktif akan menempatkan Indonesia sebagai pemain yang tidak hanya menunggu dampak, tapi juga turut membentuk arah kebijakan global.
Ancaman penutupan Selat Hormuz bukan sekadar berita luar negeri yang bisa dilewati begitu saja. Ini adalah peringatan keras bahwa dunia, termasuk Indonesia, masih berada dalam sistem energi yang sangat rentan dan mudah terguncang.
Krisis ini seharusnya mendorong kita untuk berinvestasi lebih besar dalam ketahanan energi nasional, baik melalui transisi ke energi bersih maupun perluasan jaringan kerja sama global.
Selama dunia masih bergantung pada jalur sempit seperti Selat Hormuz untuk memenuhi kebutuhan energinya, maka stabilitas global akan selalu berada di ujung tanduk.
Indonesia tidak bisa mengubah peta dunia, tapi kita bisa mengubah cara kita meresponsnya dengan bersiap, berinovasi, dan tidak lagi menunda keputusan penting tentang masa depan energi kita. (*)
***
*) Oleh : Nur Kamilia, Dosen Hukum STAI Nurul Huda Situbondo.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Selat Hormuz dan Bayangan Krisis Energi Global
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |