TIMES SITUBONDO, SITUBONDO – Isu perubahan iklim memang bukan lagi wacana akademis semata. Di seluruh dunia, perubahan cuaca yang semakin tak menentu adalah alarm keras bahwa bumi berada dalam kondisi kritis.
Fenomena ekstrem yang datang silih berganti dari kekeringan hingga hujan lebat tak terduga menjadi bukti bahwa sesuatu telah berubah secara struktural. Karena itu, menjaga bumi tidak boleh lagi diperlakukan sebagai slogan kampanye atau jargon aktivisme.
Ia adalah kewajiban moral, kompas etis yang seharusnya menuntun arah pembangunan agar tidak berjalan membabi buta dengan mengorbankan keselamatan ekologis. Jika pembangunan hanya mengedepankan ambisi politik dan kepentingan sempit, maka generasi yang akan datang hanya mewarisi bumi yang rusak dan tidak layak huni.
Kesadaran ekologis ini juga melahirkan banyak gerakan advokasi. Salah satu preseden terbesar datang dari Belanda, ketika para aktivis berhasil menggugat pemerintah karena dianggap gagal menurunkan emisi gas rumah kaca.
Gugatan itu tidak hanya menang di pengadilan tingkat pertama, tetapi juga dikukuhkan hingga Mahkamah Agung. Intinya jelas: negara tidak bisa sembarangan merumuskan kebijakan pembangunan tanpa menghitung dampak ekologisnya.
Perlindungan lingkungan adalah kewajiban negara, bukan kemurahan hati. Pelajaran ini seharusnya dibaca dengan serius oleh para pemimpin daerah, terutama ketika mereka mendorong proyek infrastruktur besar yang berpotensi mengubah lanskap ekologis secara drastis.
Maka ketika rencana pembangunan Bandara Militer Situbondo yang disebut-sebut akan diberi nama Kiai As’ad Syamsul Arifin mencuat ke publik, wajar jika banyak pertanyaan muncul. Masalahnya, hingga hari ini publik tidak pernah benar-benar mendapat penjelasan transparan mengenai risiko ekologis proyek tersebut.
Pemerintah daerah, termasuk Bupati Situbondo yang mempromosikan narasi “Situbondo Naik Kelas”, tampak lebih fokus pada retorika pembangunan ketimbang membuka data apa saja yang akan hilang, siapa yang akan terdampak, dan siapa yang paling diuntungkan. Narasi bahwa bandara kelak diproyeksikan untuk penerbangan umrah atau haji juga terdengar sebagai bujuk rayu politik yang entah kapan menjadi kenyataan bahkan mungkin tidak akan pernah.
Persoalan mendasar dari pembangunan bandara, termasuk bandara militer ini, terletak pada fakta bahwa perubahan ekologi tidak terlihat dalam hitungan hari, tetapi dampaknya berlangsung puluhan tahun.
Alih fungsi lahan bukan sekadar mengganti hamparan hijau dengan bentang beton, melainkan memutus jasa ekosistem yang selama ini menopang kehidupan: kemampuan tanah menyerap air, menjaga kelembapan, mengendalikan erosi, hingga memberikan habitat bagi flora dan fauna lokal.
Studi di berbagai negara, termasuk riset di China, menunjukkan bahwa hampir setiap bandara baru menurunkan kualitas ekologis wilayah sekitarnya karena vegetasi berkurang drastis dan permukaan kedap air meningkat. Kerusakan ini bekerja pelan, diam, tetapi pasti.
Di luar itu, penurunan keanekaragaman hayati adalah masalah lain yang kerap diabaikan. Bandara menciptakan fragmentasi habitat; migrasi burung terganggu, satwa lokal terusir, dan hanya spesies yang toleran terhadap kebisingan yang mampu bertahan.
Penelitian di Brasil memperlihatkan bahwa kawasan sekitar bandara cenderung mengalami homogenisasi hayati: spesies lokal lenyap digantikan spesies umum yang adaptif. Hilangnya keanekaragaman ini tidak hanya berarti kerusakan ekologis, tetapi juga hilangnya identitas alamiah Situbondo sebagai bagian dari kawasan tapal kuda yang kaya biodiversitas.
Pencemaran juga tidak terhindarkan. Penelitian Brtnicky (2020), Melgar (2024), dan Greer (2020) menegaskan bahwa aktivitas bandara memproduksi limpasan logam berat, residu bahan kimia, serta emisi NOx, CO, dan PM2.5. Semua polutan ini menyusup ke tanah, air, dan udara secara perlahan.
Warga tidak akan melihatnya secara kasat mata, tetapi mereka akan merasakan dampaknya melalui menurunnya hasil pertanian, meningkatnya penyakit pernapasan, dan turunnya kualitas hidup. Desa-desa sekitar seperti Banongan dan Asembagus akan menjadi pihak pertama yang merasakan beban ekologis proyek ini.
Lebih jauh lagi, perubahan iklim mikro di sekitar bandara menjadi ancaman lain. Situbondo adalah wilayah panas; kehadiran bandara dengan betonisasi masif berpotensi meningkatkan suhu, menurunkan kelembapan, dan memperburuk kualitas udara.
Fenomena urban heat island tidak hanya terjadi di kota besar, tetapi juga di kawasan yang mengalami konversi lahan besar-besaran. Semua terjadi perlahan seperti jam pasir yang terus menetes hingga akhirnya masyarakat sadar ketika sudah terlambat.
Kerusakan ekologis tidak berhenti pada lingkungan, melainkan merembet ke persoalan sosial-ekonomi. Pembangunan bandara di banyak negara berkembang identik dengan penggusuran, konflik lahan, dan ketimpangan distribusi manfaat.
Warga lokal sering kali menjadi korban karena tidak memiliki sertifikat kuat atau tidak cukup berdaya untuk menolak. Mereka kehilangan tanah tetapi tidak mendapat kompensasi yang layak.
Temuan Geschewski & Islar (2022) di Nepal memperlihatkan bahwa pembangunan bandara justru memperkaya elite politik dan swasta, sementara warga menanggung kerentanan sosial yang semakin berat.
Narasi pembangunan sering menjanjikan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi, tetapi realitas lebih rumit. Hilangnya lahan pertanian memaksa warga beralih ke sektor jasa atau pekerjaan informal tanpa keterampilan memadai.
Perubahan struktur ekonomi semacam ini dapat mengikis kohesi sosial. Masuknya pekerja luar dan tekanan budaya urban juga mempercepat erosi identitas lokal. Tidak menutup kemungkinan masyarakat Asembagus kelak terpengaruh oleh habitus militeristik yang lahir dari lingkungan bandara.
Karena itu, gerakan sipil menjadi penting. Ketika pemerintah daerah tidak transparan, masyarakat memiliki hak moral untuk menuntut penjelasan. Kasus Belanda menunjukkan bahwa gerakan berbasis data dan advokasi terorganisasi bisa menang melawan negara.
Masyarakat Situbondo dapat menuntut Bupati dan Kemenhan membuka data dampak ekologis, menjamin perlindungan warga, dan menghentikan proyek jika terbukti merugikan lingkungan jangka panjang.
Penelitian Monterrubio di Meksiko bahkan menunjukkan bahwa masyarakat bukan menolak pembangunan karena tidak paham manfaatnya, tetapi karena risiko ekologis dan sosialnya jauh lebih besar. Jika advokasi tidak dimulai sekarang, bandara yang digadang-gadang sebagai simbol kemajuan justru dapat menjadi awal dari kemunduran ekologis dan sosial Situbondo.
***
*) Oleh : Muhammad Riyadi, Awardee LPDP Kemenkeu, Studi Magister Hukum Universitas Islam Indonesia.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |