https://situbondo.times.co.id/
Ekonomi

Tradisi Lumbung Padi Tanggulangi Dampak Perubahan Iklim di Probolinggo

Rabu, 29 Desember 2021 - 11:34
Tradisi Lumbung Padi Tanggulangi Dampak Perubahan Iklim di Probolinggo Gabah milik Mohammad Ali yang disimpan di lumbung padi. (Foto: Abdul Jalil/TIMES Indonesia)

TIMES SITUBONDO, PROBOLINGGO – Perubahan iklim yang terjadi di wilayah Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, melahirkan dampak buruk pada pertanian warga. Namun, dampak perubahan iklim mampu ditanggulangi sejumlah warga di Kecamatan Besuk, Kabupaten Probolinggo, dengan menerapkan metode lama, yaitu simpan padi di lumbung.

Perubahan iklim banyak memberikan dampak buruk pada pertanian di Kecamatan Besuk. Musim kemarau panjang yang terjadi beberapa bulan lalu membuat lahan pertanian kekurangan air. Lalu ketika musim hujan datang disertai angin kencang, banyak lahan pertanian yang gagal panen. Sebab, tanaman padinya roboh diterpa angin kencang.

Hal itu membuat warga yang menggantungkan hidupnya dari matapencaharian sebagai petani, kebakaran jenggot. Sebab, biaya usaha yang digunakan untuk modal tanam tak kembali utuh. Pemasukannya pun ikut ludes.

Dampaknya, ekonomi warga semakin tercekik. Pendapatan mereka tidak berbanding lurus dengan kebutuhan mereka. Terlebih, perubahan iklim ini terjadi juga di masa pandemic Covid-19. Banyak komoditi yang harganya semakin mahal.

Sehingga, tradisi kuno lumbung padi yang telah berlangsung turun temurun ini kembali digunakan warga untuk menyelamatkan perekonomian keluarga. Caranya dengan menyimpan sebagian hasil panennya, berupa gabah di lumbung yang telah disediakan di rumah mereka.

Lumbung padi itu berupa gudang kecil yang mampu menampung dan menyimpan padi atau gabah dengan kapasitas maksimal 5 ton. Di dalam gudang itu biasanya disediakan penyanggah sebagai tempat menyimpan gabah, sekaligus pemisah agar gabah tak menyentuh tanah.

petani padiPetani sedang memilah tanaman padinya yang rusak akibat hujan dan angin kencang. (Foto: Abdul Jalil/TIMES Indonesia)

Namun, tak semua warga memiliki gudang lumbung khusus seperti ini. Sebab, pekarangan rumah yang dimilikinya terbatas. Sebagai solusi bagi yang tidak punya gudang khusus, mereka menyimpan padi atau gabahnya di dalam rumah yang disediakan sebagai lumbung padi.

“Kami menyimpannya di lumbung ini selesai panen. Biasanya sekitar 2-3 ton,” ungkap Mohammad Ali, seorang petani asal Desa Sumur Dalam, Kecamatan Besuk, saat ditemui di kediamannya, Rabu (29/12/2021).

Di Kecamatan Besuk, dalam setahun masa tanam padi terjadi rata-rata sebanyak 3 kali panen. Namun, tak semua hasil panen itu disimpan di lumbung.

Biasanya, warga menyimpan gabah itu sesuai kebutuhan keluarganya selama masa tanam, atau 4 bulan ke depan. Artinya, gabah yang disimpan tersebut cukup untuk menutupi kebutuhan perut keluarga hingga masa panen berikutnya.

Sementara, sisa gabah lainnya dikeluarkan atau dijual untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Jika persediaan beras keluarga habis, maka gabah di lumbung itu pun diselep dengan jumlah sesuai kebutuhan.

“Jadi tidak perlu beli beras. Gabah yang ada di lumbung tinggal diselip kalau sudah persediaan habis,” ungkap pria berusia 28 tahun itu.

Meski sekarang hidup di dunia modern, namun tradisi tersebut masih diterapkan Mohammad Ali dalam kesehariannya. Sebab, di masa pandemi dan perubahan iklim yang serba merepotkan ini, tradisi kuno lumbung padi ternyata mampu menjawab keresahannya.

Ketika harga bahan baku naik, gabah yang disimpan di lumbung dapat dijual sedikit demi sedikit. Sehingga biaya pengeluaran keluarga tetap tercukupi meski keadaan masih serba sulit.

“Biasanya Bulan Februari dan Maret ini untuk kalangan petani disebut masa paceklik. Padi yang disimpan bisa dijual untuk kebutuhan,”papar Asiya, nenek Mohammad Ali.

Wanita berusia senja itu mengaku sudah puluhan tahun menerapkan tradisi simpan gabah lumbung tersebut. Bahkan, dengan tradisi itu sudah banyak orang yang diselamatkan secara ekonomi dari masa ke masa.

“Dulu tidak punya sawah, sekarang sudah bisa punya sendiri. Dulu yang rumahnya jelek sekarang sudah bagus. Karena tradisi itu yang diterapkan dari turun temurun,” papar wanita berusia 67 tahun itu.

Tentang tradisi lumbung padi ini, Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Probolinggo Mahbub Zunaidi mengaku sudah mengetahuinya. Bahkan, sejak beberapa tahun terakhir, pihaknya sudah mewanti-wanti penduduk di daerahnya agar turut menerapkan tradisi lumbung padi.

Bahkan, Mahbub juga sempat menggelontorkan dananya untuk mendirikan lumbung padi kelompok tani di beberapa kecamatan. Di antaranya ialah di Kecamatan Paiton dan Gending.

Ketika terjadi perubahan ikim yang dapat menurunkan produksi padi pun, tradisi ini dapat menjadi solusinya. “Tradisi itu bagus. Bahkan saat terjadi gagal panen akibat perubahan iklim, tradisi itu mampu menyelamatkan perekonomian warga,”kata dia.

Namun, hingga saat ini Kabupaten Probolinggo selalu mengalami surplus dari hasil tanam padi daerah. Bahkan, Kabupaten Probolinggo masih sempat melakukan supply ke daerah lain dalam satu provinsi.

Itu karena luas tanam padi dan hasil panen padi pertahun di Kabupaten Probolinggo sudah melebihi kebutuhan perkapita warga setiap tahunnya. Meski tahun ini, realisasi tanam padi tak mencapai target lantaran perubahan iklim yang terjadi di berbagai wilayah.

“Artinya dengan metode tradisi kuno ini mampu menjawab keresahan warga dan kesulitan ekonomi di masa pandemi dan dampak dari perubahan iklim ini,” ungkap Mahbub.

Hingga kini, tradisi lumbung padi masih diterapkan oleh sejumlah warga di Kecamatan Besuk Kabupaten Probolinggo. Tradisi itu secara tidak langsung menyelamatkan perekonomian mereka dari dampak perubahan iklim dan pandemi covid-19. (*)

Pewarta : Abdul Jalil
Editor : Wahyu Nurdiyanto
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Situbondo just now

Welcome to TIMES Situbondo

TIMES Situbondo is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.